Senin, 10 Januari 2011

Kejagung Dilematis

Kejagung Dilematis Memeriksa Gubernur Kalsel

Untuk melakukan pemeriksaan terhadap Gubernur Kalsel H Rudy Arifin sebagai tersangka perkara dugaan korupsi pembebasan lahan eks Pabrik Kertas Martapura (PKM),  Kejaksaan Agung (Kejagung) RI tampaknya sekarang menghadapi posisi dilematis. Kesan dilematis terlihat dalam sikap berhati-hati lembaga penegak hukum itu diungkapkan Kejagung melalui Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Babul Khoir Harahap, yang tak kunjung memeriksa orang nomor satu Pemprov Kalsel dalam kasus tindak pidana korupsi. “Kami seperti menghadapi dilematis memeriksa Rudy Arifin,” begitu dikatakannya.
Apa sih dilematisnya? Ada dua persimpangan jalan membentang didepan. Disatu sisi menyebutkan pemeriksaan terhadap kepala daerah yang menjadi tersangka kasus dugaan korupsi, bisa dilakukan tanpa izin presiden. Namun, disisi lain mengharuskan mengantongi surat persetujuan tertulis dari presiden. “Mahkamah Agung menyatakan boleh, tapi peraturan perundang-undangan meminta supaya disertai surat izin persetujuan presiden,” kata Babul, mengutarakan dilematis Kejagung.
Dua ketetapan yang bertentantan ialah, Surat Edaran Mahkamah Agung (SE MA) Nomor 09/BUA.6/HS/SP/IC/2009 tanggal 30 April 2009 tentang Petunjuk Izin Penyidikan terhadap Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah dan Anggota DPRD, boleh tanpa izin presiden. Lalu,
Pasal 36 Undang-Undang Pemerintah Daerah Nomor 32 Tahun 2004 pada ayat (1), mengisyaratkan, tindakan penyidikan dan penyelidikan terhadap kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah dilaksanakan setelah adanya persetujuan tertulis dari presiden atas permintaan penyidik.
Bukankah surat izin sudah lama diajukan kepada presiden dan lebih dari dua bulan atau 60 hari? Mantan Wakil Kejaksaan Tinggi (Wakajati) Sumatera Utara itu tidak menampiknya. Namun, ia menyatakan penyidik masih menunggu turunnya surat izin persetujuan dari presiden dalam memeriksa Rudy Arifin. “Sementara ini kami tetap menunggu surat izin presiden,” ucapnya.
Sekadar mengingatkan gambaran ditetapkannya Rudy Arifin  sebagai tersangka, terjadi saat menjabat Bupati Banjar. Sebagaimana sumber informasi Radar Banjarmasin dari Puspenkum Kejagung. Gubernur Kalsel dua periode itu tersandung perkara tipikor pemberian uang santunan pembebasan tanah eks PKM oleh Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten Banjar Tahun Anggaran 2002-2003. Dasar penetapan, ialah Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak  Pidana Khusus Nomor Print-109/F.2/Fd.1/9/2010 tanggal 16 September 2010.
Ia mengeluarkan SK Nomor 24 Tahun 2001 tanggal 7 Pebruari 2001 tentang Pembentukan Tim Pengembalian dan Pemanfaatan eks PKM. SK dikeluarkan untuk membebaskan tanah HGB Nomor 11 dan 103 atas nama Pemegang Hak PT Golden Martapura.  Menerbitkan SK Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten Banjar No.SK.01/KPTS/2002 tentang bentuk dan besar santunan dalam rangka pengadaan tanah yang akan dibebaskan Pemerintah Kabupaten Banjar untuk kepentingan umum atas HGB No.11 dan No.103. Mewakili Pemkab Banjar membuat surat perjanjian Nomor 182 tanggal 8 Mei 2002 dihadapan Notaris Neddy Farmanto tentang Santunan Tanah dan Bangunan antara Pemkab Banjar  dengan Gunawan Sutanto (Dirut PT Golden Martapura).
Kemudian, merealisasikan pembayaran santunan ganti rugi dengan mengeluarkan SK Nomor 85/SKOP/04/2002 tanggal 1 april 2002 tentang Otorisasi Anggaran Belanja Pembangunan Tahun 2002 yang kemudian dengan kwitansi tanggal 15 Agustus 2002 dibayarkan kepada PT Golden Martapura sebesar Rp 3 Miliar . Ditambah, SK Nomor 08/SKO-BL/0/2003 tentang otorisasi Anggaran Belanja Pembangunan tahun 2003 yang kemudian dengan kwitansi tanggal 26 Maret 2003 dibayarkan kepada PT Golden Martapura sebesar Rp 3.439.702.000
Seharusnya, sebut Puspenkum Kejagung, tindakan tersebut tidak dilakukan oleh tersangka karena telah mengetahui bahwa terhadap kedua Hak Guna Bangunan atas nama PT Golden Martapura sudah berakhir masa berlakunya, melalui Surat PT Golden Martapura Nomor 414/GM/00 perihal Permohonan/Pembaharuan HGB Nomor 11 dan 103, akan tetapi Kepala Kantor Kabupaten Banjar menolak permohonan tersebut dengan Surat Nomor 620.1/945/KP-02 tanggal 19 Oktober 2000 yang ditembuskan kepada tersangka.
Surat tersangka Nomor 500/260/KP.02 tanggal 12 Juni 2001 yang ditujukan kepada PT Golden Martapura, dimana isi surat tersebut antara lain menyatakan bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 dengan berakhirnya kedua HGB yaitu Nomor 11 dan 103 maka statusnya menjadi tanah Negara. Pasal Disangkakan Pasal 2, Pasal 3 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar